Perkembangan ilmu dan teknologi serta dinamika sosial masyarakat membuka peluang dan pandangan baru dalam berbagai sisi kehidupan. Tidak terkecuali dalam arsitektur, yang kini menggunakan rekayasa teknik dan pendekatan-pendekatan baru.
Dengan mempelajari nilai-nilai budaya yang menjadi dasar arsitektur tradisional, seorang perancang mampu merealisasikan kearifan lokal dalam karya arsitekturnya. Sikap kritis ini sangat terlihat dalam Program Studi (Prodi) Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
Masyarakat arsitektur Unpar menyadari pentingnya melestarikan kearifan lokal dalam karya arsitektur sesuai dengan fungsi dan kebutuhan masyarakat. Dari segi akademis, mahasiswa mendapat pengalaman ilmu yang menyeimbangkan sisi fungsi dan estetika, yang juga dibalut dalam ragam budaya lokal, membawa berbagai tema tradisional, baik dalam konsep, nilai filosofis, maupun rupa karya itu sendiri.
Karya-karya tersebut mendapat apresiasi dalam Studio Akhir Arsitektur (SAA) Awards, yang telah diakui kualitasnya oleh para arsitek dalam dan luar negeri. SAA Awards merupakan kegiatan rutin berkala yang diadakan oleh Prodi Arsitektur Unpar.
Di luar bidang akademik, mahasiswa arsitektur membawa fenomena lokal dan tradisional kepada masyarakat melalui Festival Arsitektur Parahyangan (FAP) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur (HMPSArs) Unpar. Kegiatan rutin tahunan tersebut telah diadakan sejak 2007. FAP 2017 mengangkat tema “Kota Kampung” yang memiliki makna bahwa adanya hubungan yang saling berkaitan antara perkotaan dengan perkampungan melalui sebuah festival.
Tahun ini, serangkaian acara FAP yang meliputi seminar nasional, Paradesc 2017, dan workshopberlangsung selama dua hari pada 19-20 Mei 2017 di Selasar PPAG Unpar.
Prestasi
Kemampuan mahasiswa dan lulusan arsitektur Unpar dalam menggabungkan nilai budaya dan beragam teknik mutakhir telah menghasilkan berbagai prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional misalnya, empat orang mahasiswa arsitektur Unpar berhasil meraih juara Sayembara Bundaran Besar Kota Palangka Raya yang berlangsung pada Juni lalu.
Prestasi ini diraih berkat keberhasilan tim arsitektur Unpar mengintegrasikan karya mereka dengan nilai-nilai tradisional yang ada. Tema yang diangkat adalah “Budaya Huma Betang”, budaya asli Kalimantan Tengah, yang dapat diasosiasikan dengan rumah besar, tempat tinggal bersama.
Nilai budaya tersebut selaras dengan falsafah hidup masyarakat Kalimantan Tengah yang menjunjung tinggi keberagaman, Pancasila, dan budaya leluhur. Pada akhirnya, rancangan mahasiswa arsitektur Unpar dinilai selaras dengan kearifan budaya dan falsafah hidup masyarakat Dayak, serta terintegrasi dengan kehidupan masyarakat provinsi Kalimantan Tengah, sebagai Bumi Tambun Bungai.
Tidak hanya dalam kreasi baru, mahasiswa Unpar juga membuktikan diri dalam meningkatkan kualitas ruang yang telah ada. Memasuki bulan Agustus, mereka mendapatkan Juara 1 dalam workshop Karya untuk Bangsa yang diselenggarakan oleh Komunitas Buku Berkaki, bekerja sama dengan Allegrita, sebuah penyedia jasa interior berbasis digital, khususnya desain interior dalam ruang publik. Lokakarya ini bertujuan untuk merancang kembali ruang baca yang dimiliki oleh Komunitas Buku Berkaki, sehingga sejalan dengan pandangan dan kebutuhan komunitas tersebut.
Tingkat Dunia
Tidak hanya di kancah nasional, mahasiswa arsitektur Unpar mampu membuktikan diri, memperkenalkan Bumi Pasundan di kancah dunia. Dalam Archiprix International 2017 yang diselenggarakan di Ahmedabad, India, beberapa waktu yang lalu, karya mahasiswa arsitektur Unpar terpilih sebagai salah satu pemenang kategori Participants Favourites, World’s Best Graduation Projects, satu-satunya karya dari Indonesia yang memenangkan penghargaan tersebut.
Archiprix yang bermarkas besar di Rotterdam, Belanda, dapat dikatakan sebagai lembaga yang memberikan penghargaan kepada karya-karya (tugas akhir) terbaik mahasiswa arsitektur dari seluruh dunia.
Keberhasilan karya mahasiswa arsitektur Unpar tidak lepas dari tema tradisional yang digunakan. Karya mereka, Atlas of Sunda, terinspirasi oleh air sebagai kebutuhan dasar setiap manusia, yang kini semakin menipis persediaannya. Proyek ini diharapkan dapat menghindari krisis air di masa depan, dengan memilih Kota Bandung sebagai acuan proyek. Kearifan budaya Sunda yang kental dengan penghargaan atas kelestarian alam lingkungan, salah satunya melalui pengelolaan air, menjadikan karya mereka diakui oleh dunia.
Arsitektur yang baik menggabungkan antara fungsi dan estetika. Meskipun kemajuan teknologi yang pesat telah membawa berbagai paradigma baru dalam arsitektur, terkadang kearifan lokal membawa jawaban bagi tantangan arsitektur masa kini. Integrasi antara kearifan lokal, fungsi, serta teknik modern menjadikan karya arsitektur sungguh bermanfaat bagi masyarakat dunia.
Sumber: KOMPAS – Griya Ilmu (Selasa, 22 Agustus 2017)